Minggu, 24 November 2013

Sebuah percakapan tentang rindu pada malam rindu

Apakah aku akan tetap menjadi aku ketika kamu lupa tentang segalaku?
Apakah kamu akan tetap menjadi kamu meskipun senja hadir tanpa jingganya?
Apakah aku akan tetap menjadi aku ketika rindu mengendap membatu?
Ketika rindu tak bersisian dengan rasa mungkinkah itu rindu?
Tidak! rindu hadir karena rasa, rindu datang karena terbiasa
Lalu, apakah kamu akan tetap menjadi kamu ?
Mungkin, ketika ia tetap membuat aku merasa menjadi aku tanpa membuat apa itu rasa rindu
Bagaimana jika rindu itu tetap diam ditempat rasa yang tak terucap?
Sepertinya rindu itu harus lebih melebarkan sayap sabarnya, karena menahan rindu bukan perkara mudah 
Dari pada menahan, lalu kenapa tak diungkapkan saja, aku rindu kamu misalnya
Seandainya  bisa rindu itu sudah bersarang pada empunya
Ah tanpa bersarang pada empunya pun rindu sudah tau kemana dia pergi
Dia pergi namun tak kembali membawa separuh rindunya lagi. Dia tetap rindu sendiri
Tetap jaga separuh rindu itu, kelak akan ada separuh lagi yang menggenapkan rindumu menjadi utuh
Hingga kapan? hingga rindu separuh itu bergemuruh kemudian menyemburkan isinya hingga rindu berubah menjadi kecam yang sesal
Hingga rindu bercinta dengan rasa, bahkan gemuruhnya bisa membisukan debur ombak
Apakah rindu tak karam ketika ombak yang bergemuruh mengikisnya perlahan?
Meskipun rindu karam dia akan menjelma menjadi buih bersama ombak
Lalu rindu hanyut, pergi hilang tanpa tersampaikan
Tidak, tidak ia tidak tersampaikan, ia hanya terendap dalam pasir
Lalu haruskan rindu itu dikubur dalam-dalam hingga tak ada luka yang menggenapkan?
Biarkan rindu tersimpan rapi dijari penyair
Dan pada akhirnya dia tetap rindu sendiri

Kita???

Kita seolah fatamorgana yang fana, semu dan tak pernah ada. Hanya membubuhkan segumpal harap yang diberi pupuk terus menerus. Bahkan kita tidak sadar di depan mata ada sembilah pisau panas yang siap dengan sigap menancap ke kedua belah sisi, pada akhirnya kita tetap melebur dan terhapus.......