Sunyi malam angin bergemuruh menerbangkan puingpuing rumah lumpuh. Tak ada suara yang terdengar sedikitpun kecuali bisikan angin yang mencari rintik hujan yang hilang, sesekali ia pun mengaduh dan meringgis. Angin kehilangan rintik hujan. Rintik hujan yang selalu membawakannya irama yang sendu. Sendu yang terkadang ia acuhkan dalam topan yang berusaha mengusir hujan.
Namun,
sendu itu membuat ia candu.
"bukankah semesta sering sekali memasangkan rintik hujan dengan angin? bahkan pada setiap hujan anggin selalu hadir ikut andil dalam menyatukan ketukan irama." bisik ranting pohon yang daunnya mulai berguguran pada pucuk pohon.
Angin hanya diam dan pura-pura tidak mendengar. ia hanya ingin mendengar rintik hujan. Seperti seorang kekasih yang merindukan kekasihnya yang sering ia acuhkan.
Sabtu, 29 Juni 2013
Kamis, 27 Juni 2013
seperti tali
Tuhan tegur saya dengan cara yang berbeda dari sebelumnya !
Harap ini jangan dibuat melambung terlalu tinggi hingga jatuhnya sakit bukan main. Sampai tulangnya seolah meremuk dalam kubangan keraguan dan harap tak sampai. Penyesalan dan keinginan yang melambung tinggi yang kemudian berkali-kali tertarik mundur ke sisi paling akhir...
Hancurrrrrrrrr......
Tapi kenapa semesta seolah dekatkan saya pada kesakitan yang berulang???
Tuhan tolong tegur saya lebih jelas !
Rasa ini bukan tali layangan yang siap ditarik ulur sang pengendali. Jangan biarkan rongganya semakin menyempit, jika ingin pergi maka biarkanlah pergi, jangan tarik lagi tali yang sudah dilepaskan. Jangan lagi siram luka basah yang sulit mengering lagi dan lagi. Biarkan talinya terbang seperti layang-layang, dan melebur bersama angin melayang ketepian awan menjemput nila.
Hingga akhirnya berlabuh pada kabut jingga nya senja....
Rabu, 12 Juni 2013
ketika...
aku ingin menjadi aku ketika kau menjemput senja jingga itu
aku ingin menjadi aku ketika hujan membasahimu dengan rintiknya
aku ingin menjadi aku ketika jejak kakimu mengarungi tepian pantai
aku ingin menjadi aku ketika malam datang menemani heningmu
dan aku tetap ingin menjadi aku ketika kau lupa tentang segalaku
aku ingin menjadi aku ketika hujan membasahimu dengan rintiknya
aku ingin menjadi aku ketika jejak kakimu mengarungi tepian pantai
aku ingin menjadi aku ketika malam datang menemani heningmu
dan aku tetap ingin menjadi aku ketika kau lupa tentang segalaku
Senin, 10 Juni 2013
Lelaki Itu
Siang itu aku merebahkan tubuhku pada kasur berwarnakan merah hitam yang dipadupadankan dengan corak absrak favoritku. Segala perasaan berkecamuk menjadi satu. Perjodohan. Itu yang tengah menguasai fikiranku. Cinta datang karena terbiasa itu terdengar sangat klise, tapi setidaknya hanya kata itu yang membuat aku merasa sedikit tenang. Tapi apa betul bisa semudah itu? Sedangkan aku sendiri bukan sosok wanita yang mudah jatuh cinta. Contohnya saat ini aku masih tetap setia berkutat dengan cinta pertamaku. Lekaki itu yang sudah sejak lama menjadi sahabatku dan juga mengejar cintaku satengah mati. Terlalu banyak momen yang kita lewati bersama namun sering sekali aku mengabaikan itu sampai pada akhirnya dia menyerah dan aku baru menyadari aku kehilangannya.
Sejak 5th yang lalu. Sejak dia memutuskan ikut dengan tantenya kuliah di Malaysia. Memang tak pernah terjadi pertengkaran hebat ketika itu hanya saja aku menolak dia untuk kesekiankalinya. Dan ketika esoknya aku hanya mendapatkan sepucuk surat yang isinya permintaan maaf dan ucapan selamat tinggal. Sebetulnya aku marah, kenapa dia tidak berterus terang namun aku sadar dia pasti punya pemikiran yang lain. Apalagi setelah aku menolaknya. Awal-awal kepergiannya bukan suatu hal yang terlalu buruk namun selang 1 minggu dari sana aku tiba-tiba menangis meraung sendiri. Aku kehilangan dia. Aku merindukan dia.
Itu lah manusia dia cenderung tidak peka terhadap hal-hal yang sudah menjadi keterbiasaanya, terlalu nyaman dengan keadaan hingga tak dasar ada sepotong rasa yang terbalas. Iya aku baru menyadarinya aku pun mencintai dia seperti dia mencintai aku. Meski tak sempat kata itu keluar di hadapannya. Dan sampai saat ini aku masih menunggu dia untuk kembali. Berharap dia kembali.
[ Segera persiapkan dirimu nak, untuk pertemuan nanti malam. Calon suami mu beserta keluarganya akan datang. Jangan membuat malu bapak dengan keputusanmu nanti. Bapak tau kamu pasti sudah paham apa yang bapak harapkan ]
Pesan singkat yang aku dapatkan dari bapak ku sontak saja membuat kepalaku semakin tak karuan.
***
Malam itu mungkin akan menjadi malam yang tersulit bagiku, sangat sulit. Ingin rasanya aku melewati saja fase ini. Tapi bagaimana dengan keluargaku yang berharap banyak pada keputusanku. Aku akan dijodohkan dengan lekaki yang tak aku kenal. Yang kata bapak adalah anak dari sodara teman lamanya bapak. Tau namanya saja tidak dan dalam pertemuan pertama sudah disebut calon suami. Oke ini bukan zaman nya siti nurbaya. Negara kita ini sudah bebas mengeluarkan pendapatnya sama hal nya dengan ini bukan? Tapi apa yang dapat aku lakukan di usia ku yang akan menginjak 30th ini. Yang setia dengan pekerjaan dan kesendirian, aku paham orang tuaku khawatir tentang itu sedangkan sodara-sodara perempuanku saja di usia 25th sudah menikah dan bahkan ada yang sudah memiliki anak.
"Indri, ayo kita keluar nak, keluarga calon mu akan segera datang"
" iya bu, sebentar lagi indri keluar"
"jangan membiarkan mereka terlalu lama menunggu ya nak"
"iya bu"
Ibu pun keluar dari kamarku, sedangkan aku masih duduk bimbang di depan cermin.
Seandainya dulu aku lebih awal menyadari perasaanku apa mungkin saat ini aku sedang berbahagia dengan sosok lelaki yang aku tunggu sampai saat ini? dengan membangun sebuah rumah sederhana di pinggir pantai dengan pemandangan yang tepat menghadap senja. lalu membersarkan dua orang anak. Lengkap sudah rasanya kebahagiaaku. Tapi bagaimanapun itu tidak mungkin terjadi. yang saat ini aku harus lakukan ialah keluar dari kamar ini lalu bertemu dengan seorang lelaki yang kan menjadi suamiku kelak. Aku yakin ini yang terbaik untukku, untuk kebahagiaan aku, untuk membahagiakan orang tuaku.
Akupun segera bergegas merapikan pakaian dan keluar dari kamar.
"terimakasih sekali pak. atas kesediaan hadirnya kemari, rasanya jadi saya yang deg deg an gitu ya"
"aaahh sama-sama pak, jangan kan bapak saya pun juga demkian. semoga saja niat baik kita semua ini di ridhoi sama Allah SWT ya pak"
"amiiinnn, nah ini pak putri saya Indri. nak ini keluarganya calon mu. Pak Gusti dan Istrinya beliau ini Uwa nya"
Aku pu memberikan salam dan senyuman khasku meskipun sedikit pilu.
"Calon mu sedang ketoilet sebentar"
"Iya pak"
Aku memang harus benar-benar melepaskan dia disini. Sekarang dan memulai lagi hidup baruku. Memulai semua dari awal, mencoba untuk lebih peka lagi. dan berusaha menciptakan perasaan yang seharusnya. Disini aku harus lebih berpikir secara logika bukan dengan perasaan. Melanjutkan hidupku yang nyata dan mengubur rasaku yang anggan.
"maaf saya membuat semuanya menunggu"
"nah, ini dia keponakan saya. Rangga Aldiputra"
Sekejap aku sadar dari lamunanku dan membalikan pandangan pada sosok yang tadi disebutkan namanya. Aku Terpaku. Mata ku membelalak seolah ingin meloncat. Lelaki itu yang duduk didepanku tersenyum hangat, nyaman, akrab. Tiba-tiba air mataku meleleh.
***
Lelaki yang aku lihat saat itu Rangga Aldiputra sahabatku dan cinta pertamaku, lelakipun yang kini sedang tertidur pulas disampingku yang juga telah memberikanku dua buah hati. Lelaki yang sepertinya tuhan gariskan untukku. Menjadi satu-satunya lelaki dalam hidupku. Yang membuat aku sadar cinta itu bisa datang karena terbiasa, yang membuat aku menyesal tak peka akan kehadirannya, membuat aku paham sepi ketika kehilangannya, bahkan tetap setia berharap menunggu akan semuanya kembali lagi dan menangis haru ketika kita dipertemukan kembali.
Dan aku sangat mencintai Lelaki itu. Suamiku.
Sejak 5th yang lalu. Sejak dia memutuskan ikut dengan tantenya kuliah di Malaysia. Memang tak pernah terjadi pertengkaran hebat ketika itu hanya saja aku menolak dia untuk kesekiankalinya. Dan ketika esoknya aku hanya mendapatkan sepucuk surat yang isinya permintaan maaf dan ucapan selamat tinggal. Sebetulnya aku marah, kenapa dia tidak berterus terang namun aku sadar dia pasti punya pemikiran yang lain. Apalagi setelah aku menolaknya. Awal-awal kepergiannya bukan suatu hal yang terlalu buruk namun selang 1 minggu dari sana aku tiba-tiba menangis meraung sendiri. Aku kehilangan dia. Aku merindukan dia.
Itu lah manusia dia cenderung tidak peka terhadap hal-hal yang sudah menjadi keterbiasaanya, terlalu nyaman dengan keadaan hingga tak dasar ada sepotong rasa yang terbalas. Iya aku baru menyadarinya aku pun mencintai dia seperti dia mencintai aku. Meski tak sempat kata itu keluar di hadapannya. Dan sampai saat ini aku masih menunggu dia untuk kembali. Berharap dia kembali.
[ Segera persiapkan dirimu nak, untuk pertemuan nanti malam. Calon suami mu beserta keluarganya akan datang. Jangan membuat malu bapak dengan keputusanmu nanti. Bapak tau kamu pasti sudah paham apa yang bapak harapkan ]
Pesan singkat yang aku dapatkan dari bapak ku sontak saja membuat kepalaku semakin tak karuan.
***
Malam itu mungkin akan menjadi malam yang tersulit bagiku, sangat sulit. Ingin rasanya aku melewati saja fase ini. Tapi bagaimana dengan keluargaku yang berharap banyak pada keputusanku. Aku akan dijodohkan dengan lekaki yang tak aku kenal. Yang kata bapak adalah anak dari sodara teman lamanya bapak. Tau namanya saja tidak dan dalam pertemuan pertama sudah disebut calon suami. Oke ini bukan zaman nya siti nurbaya. Negara kita ini sudah bebas mengeluarkan pendapatnya sama hal nya dengan ini bukan? Tapi apa yang dapat aku lakukan di usia ku yang akan menginjak 30th ini. Yang setia dengan pekerjaan dan kesendirian, aku paham orang tuaku khawatir tentang itu sedangkan sodara-sodara perempuanku saja di usia 25th sudah menikah dan bahkan ada yang sudah memiliki anak.
"Indri, ayo kita keluar nak, keluarga calon mu akan segera datang"
" iya bu, sebentar lagi indri keluar"
"jangan membiarkan mereka terlalu lama menunggu ya nak"
"iya bu"
Ibu pun keluar dari kamarku, sedangkan aku masih duduk bimbang di depan cermin.
Seandainya dulu aku lebih awal menyadari perasaanku apa mungkin saat ini aku sedang berbahagia dengan sosok lelaki yang aku tunggu sampai saat ini? dengan membangun sebuah rumah sederhana di pinggir pantai dengan pemandangan yang tepat menghadap senja. lalu membersarkan dua orang anak. Lengkap sudah rasanya kebahagiaaku. Tapi bagaimanapun itu tidak mungkin terjadi. yang saat ini aku harus lakukan ialah keluar dari kamar ini lalu bertemu dengan seorang lelaki yang kan menjadi suamiku kelak. Aku yakin ini yang terbaik untukku, untuk kebahagiaan aku, untuk membahagiakan orang tuaku.
Akupun segera bergegas merapikan pakaian dan keluar dari kamar.
"terimakasih sekali pak. atas kesediaan hadirnya kemari, rasanya jadi saya yang deg deg an gitu ya"
"aaahh sama-sama pak, jangan kan bapak saya pun juga demkian. semoga saja niat baik kita semua ini di ridhoi sama Allah SWT ya pak"
"amiiinnn, nah ini pak putri saya Indri. nak ini keluarganya calon mu. Pak Gusti dan Istrinya beliau ini Uwa nya"
Aku pu memberikan salam dan senyuman khasku meskipun sedikit pilu.
"Calon mu sedang ketoilet sebentar"
"Iya pak"
Aku memang harus benar-benar melepaskan dia disini. Sekarang dan memulai lagi hidup baruku. Memulai semua dari awal, mencoba untuk lebih peka lagi. dan berusaha menciptakan perasaan yang seharusnya. Disini aku harus lebih berpikir secara logika bukan dengan perasaan. Melanjutkan hidupku yang nyata dan mengubur rasaku yang anggan.
"maaf saya membuat semuanya menunggu"
"nah, ini dia keponakan saya. Rangga Aldiputra"
Sekejap aku sadar dari lamunanku dan membalikan pandangan pada sosok yang tadi disebutkan namanya. Aku Terpaku. Mata ku membelalak seolah ingin meloncat. Lelaki itu yang duduk didepanku tersenyum hangat, nyaman, akrab. Tiba-tiba air mataku meleleh.
***
Lelaki yang aku lihat saat itu Rangga Aldiputra sahabatku dan cinta pertamaku, lelakipun yang kini sedang tertidur pulas disampingku yang juga telah memberikanku dua buah hati. Lelaki yang sepertinya tuhan gariskan untukku. Menjadi satu-satunya lelaki dalam hidupku. Yang membuat aku sadar cinta itu bisa datang karena terbiasa, yang membuat aku menyesal tak peka akan kehadirannya, membuat aku paham sepi ketika kehilangannya, bahkan tetap setia berharap menunggu akan semuanya kembali lagi dan menangis haru ketika kita dipertemukan kembali.
Dan aku sangat mencintai Lelaki itu. Suamiku.
Masih Tentang Rasa Yang Sama
aku sisipkan setitik asa yang ku gurat halus
jemariku ku biarkan menjelajah setiap hurup
yang kemudian tersusun sebuah kalimat.
termenung......
rasa yang harus kutinggalkan
namamu tersisip pada kalimat yang tak berintuisi itu
masih tentang rasa yang samakah?
terbang bersama lalu yang menyisikan luka tak kering
bangkit dari duri namun terperosok pada jerami
hatiku tergores lagi mengingat kamu
jemariku ku biarkan menjelajah setiap hurup
yang kemudian tersusun sebuah kalimat.
termenung......
rasa yang harus kutinggalkan
namamu tersisip pada kalimat yang tak berintuisi itu
masih tentang rasa yang samakah?
terbang bersama lalu yang menyisikan luka tak kering
bangkit dari duri namun terperosok pada jerami
hatiku tergores lagi mengingat kamu
Kamis, 06 Juni 2013
Sepotong Sesal
Semilir angin menerobos lewati jendela yang aku biarkan sedikit terbuka. Rintik hujan itu masih terdengar samar-samar seolah sedang menghabiskan sisa-sisa air hujan yang turun sampai tetes terakhir. Malam kian larut, tapi keramaian diluar sana masih terdengar gaduh dan aku hanya menatap tajam pada cermin yang sesekali mata ku melirik ponsel yang sedari tadi aku letakan tak jauh dari tempat aku duduk. Tidak. Bukan sesekali tapi berkali-kali. Dingin mulai merasuk kedalam ruangan kecilku disana hanya ada aku dan sepotong harapan yang kian ku pungkiri. Sekali lagi aku lirik kembali ponsel ku dan meraihnya, membuka-buka siapa tau tiba-tiba ada pesan masuk atau panggilan yang tak terduga tapi ternyata memang tidak. Aku letakan kembali ponsel itu aku manatap cermin lagi. Mengingat tentang aku yang acuh. Seolah buta dan Lupa akan segalaku yang kata sahabatku, konyol.
“menyimpan harap pada dia yang tak mungkin, lalu mengacuhkan ia yang peduli, ini konyol bukan?”
“ia yang peduli? Siapa?”
“kamu ini polos, bodoh, atau memang pura-pura bodoh? Pada akhirnya kamu sendiri yang akan merasakan setelah ia benar-benar pergi. Jangan sampai sadar setelah menyesal itu akan menyakitkan lagi. ingat jangan jadi orang yang selalu telat dan tidak tepat waktu”
Perkataan itu masih betul-betul terngiang jelas.
Dadaku lambat laun seolah menyempit. Tubuhku lemas. Aliran darahku seolah mendidih. Pikiranku tak karuan lagi. Ada sepotong sesal disana. Tiba-tiba aku ingin manangis dan menjerit lagi kali ini bukan karena dia. Bukan dia yang aku sesalkan bukan karena perasaan ku tak sampai pada dia. Tapi aku merasa kehilangan ia. Ia yang tak pernah aku lihat, ia yang aku acuhkan. Ia yang selalu ada dan memberi ruang nyaman di sebagian waktu. Ia yang seolah tempatku berlari ketika aku jatuh pada luka yang tak sengaja dia sematkan. Ia yang mencoba meraihku dari rasa terpuruk karena dia. Dan ia yang kini mengjauh perlahan.
Aku kembali menatap ponsel yang masih saja tak bergeming.
Langganan:
Postingan (Atom)