Kamis, 06 Juni 2013

Sepotong Sesal


Semilir angin menerobos lewati jendela yang aku biarkan sedikit terbuka. Rintik hujan itu masih terdengar samar-samar seolah sedang menghabiskan sisa-sisa air hujan yang turun sampai tetes terakhir.  Malam kian larut,  tapi keramaian diluar sana masih terdengar gaduh dan aku  hanya menatap tajam pada cermin yang sesekali mata ku melirik ponsel yang sedari tadi aku letakan tak jauh dari tempat aku duduk. Tidak.  Bukan sesekali tapi berkali-kali. Dingin mulai merasuk kedalam ruangan kecilku disana  hanya ada aku dan sepotong harapan yang kian ku pungkiri. Sekali lagi aku lirik kembali ponsel ku dan meraihnya, membuka-buka siapa tau tiba-tiba ada pesan masuk atau panggilan yang tak terduga tapi ternyata memang tidak. Aku letakan kembali ponsel itu aku manatap cermin lagi. Mengingat tentang aku yang acuh.  Seolah buta dan Lupa akan segalaku yang kata sahabatku, konyol.

“menyimpan harap pada dia yang tak mungkin, lalu mengacuhkan ia yang peduli, ini konyol bukan?”

“ia yang peduli? Siapa?”

“kamu ini polos, bodoh, atau memang pura-pura bodoh? Pada akhirnya kamu sendiri yang akan merasakan setelah ia benar-benar pergi. Jangan sampai sadar setelah menyesal itu akan menyakitkan lagi. ingat jangan jadi orang yang selalu telat dan tidak tepat waktu”

Perkataan itu masih betul-betul terngiang jelas.

Dadaku lambat laun seolah menyempit. Tubuhku lemas. Aliran darahku seolah mendidih. Pikiranku tak karuan lagi. Ada sepotong sesal disana. Tiba-tiba aku ingin manangis dan menjerit lagi kali ini bukan karena dia. Bukan dia yang aku sesalkan bukan karena perasaan ku tak sampai pada dia. Tapi aku merasa kehilangan ia. Ia yang tak pernah aku lihat, ia yang aku acuhkan. Ia yang selalu ada dan memberi ruang nyaman di sebagian waktu. Ia yang seolah tempatku berlari ketika aku jatuh pada luka yang tak sengaja dia sematkan. Ia yang mencoba meraihku dari rasa terpuruk karena dia. Dan ia yang kini mengjauh perlahan.

Aku kembali menatap ponsel yang masih saja tak bergeming.

1 komentar: