Berbagai macam kendaraan berlalu lalang, lampu-lampu jalan
bersinar redup-redup terang sebagai menerangan dikota yang penuh sesak dengan
berbagai suku yang datang. Angin dinginpun merasuk dalam tubuh yang memang
tidak gemuk ini. Dengan gitar lusuh yang aku lingkarkan pada bahu dan pinggang,
aku menelusuri setiap jalanan yang ada dikota ini. Bergegas berlari mengejar
bis-bis yang melintas. Aku petikan senar gitar yang selalu ku bawa sembari
mengalunkan sebuah lagu dari penyanyi ibu kota. Recehan yang aku dapatkan dari
setiap menumpang yang ada menjadi penolong bagi hidup ku saat ini. Sebut saja
namaku Arman. Aku hanyalah seorang pengamen jalanan pada malam hari. Aku
memakukan pekerjaan ini sudah sejak 2th terakhir. Ini aku lakukan untuk menghidupi
diriku sendiri dikota yang jauh dari orang tua. Pada pagi dan siang hari aku
melakukan kewajiban utamaku sebagai seorang mahasiswa di sebuah perguruan
tinggi negeri. Aku mendapatkan beasiswa. Hidup dikota orang dengan seorang diri
itu tidak mudah. Kedua orang tuaku sudah tidak mampu membiayai untuk hidupku
disini jangankan untuk membiayai hidupku untuk mereka makan pun ayah harus
bekerja keras, kami memang bukan keluarga yang digolongkan mampu. Bapak ku pun
hanya seorang pemulung botol-botol plastic. Karena itulah malam hari aku
berprofesi sebagai pengamen, meskipun pendapatannya tidak seberapa tapi ini
cukup untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari.
Jarum jam sudah menunjukan pukul 04.30 WIB. Aku harus segera
pulang pagi ini ada kuliah pukul08.00WIB. aku laju kakiku menuju sebuah gang
yang tidak terlalu besar. Gelap.
“baru pulang man? “ sapa seorang bapak yang tinggal tidak
jauh dari tempat kost ku
“iya pak, udah mau
subuh”
“ga kemesjid dulu?”
“mau pulang dulu pak, mau mandi kan tidak enak masuk mesjid
bau asem keringet”
“oh ya sudah, bapak kemesjid duluan ya”
Pak Natno pun berpamitan dan segera beranjak dari tempat
kami bertegur sapa
Aku kembali melangkahkan kakiku menuju kost. Namun baru 2
langkah aku berjalan aku terhenti karena sosok wanita yang ada dihadapanku.
Wanita dengan perawakan tinngi kecil, putih, berambut hitam sebahu, mata sipit
kecoklatan, hidung mancung. Wanita itu melihat kearah ku. Wanita yang baru-baru
ini pernah aku temui dari jarak yang dekat.
***
Malam itu perutku terasa sangat lapar, aku memutuskan untuk
mampir sebentar ke sebuah warteg yang ada disamping terminal yang baru saja aku
jelajahi. Disana terlihat ada beberapa orang bapa-bapa yang sepertinya supir bis dan kernek-kernek nya. Perut lapar
itu ku isi dengan nasi putih dan telor rendang yang dipadukan dengan the panas.
Lega rasanya jika perut sudah di isi, itu artinya aku bisa melanjutkan pekerjaanku
kembali. Dari kejauhan terlihat seorang wanita yang mengenakan rok mini dengan
hak tinnginya berjalan mendekati warteg itu dengan sedikit tergesa-gesa.
“ehm , hey cantik mau kemana neng malam-malam begini? Mau
nemuin abang yaa?” celetuk seorang bapa yang ada dihadapanku, ketika wanita itu
mulai ada di dekat warteg. Wanita itupun hanya melirik sibapa dengan pandangan
tak suka.
“kenapa neng? Ko jutek gitu?jangan takut ga dibayar, saya
bayar deh kalau mau “
Wanita itupun masih tidak menjawab dan mulai melangkahkan
kakinya
“alah, sok jual mahal lu, cewe ga bener aja belagu. Lu pikir
gua ga mampu bayar lu”
Langkah wanita itupun terhenti
“maaf ya, sepertinya anda salah paham sekali, saya bukan wanita seperti yang ada pikir”
“hah, jadi lu wanita baik-baik? Mana ada wanita baik-baik
tengah malam gini masih bersiliweran pake rok mini. Mau manggal dimana lu?”
Tutur sibapa yang satunya lagi
Terlihat jelas amarah wanita itu mulai terpancing, aku
segera membayar makan pada pemilik warteg, tanpa basa-basi dan entah kenapa aku
langsung menarik tangan wanita itu. Membawa dia pergi dari tempat itu.
***
Wanita itu masih berada ditempatnya, masih melihat kearah
ku. Tanpa aku pedulikan aku melanjutkan lagi langkahku. Semakin dekat dan
semakin dekat, aku melewatinya dan dia tiba-tiba ia memanggilku.
“arman, “
Aku menghentikan langkahku tanpa menoleh, dari mana dia tau
namaku, karena ketika malam itu, aku hanya menolong dia menghindarin
percekcokan dengan para bapa-bapa itu tanpa memberi tahu siapa namaku, meskipun aku tau namanya Ranti. Jauh
sebelum kejadian itu aku sering secara tidak sengaja melihat Ranti pulang
selarut itu, karena jarak tempat tinggal kita yang ternyata tidak begitu jauh.
Aku mengetahui nama dia dari penjual sate yang sering nongkrong depan gang
kostku.
“kamu arman kan?” perjelasan Ranti
Aku pun membalikan badanku melihat Ranti.
“iya, ada apa?”
“terimakasih, aku Ranti” sembari mengulurkan tangannya
dangan senyum manis dibibirnya yang munggil.
***
Sejak saat itu, aku dengan Ranti menjadi sering bertemu, aku
bahkan selalu Menjemput Ranti ketika dia pulang bekerja. kita saling bertukar
pikiran dan bercerita banyak hal, jujur saja meskipun aku sudah tinggal dikota
ini hampir 4th tapi aku masih belum menemukan lawan untuk bertukar
pikiran yang pas, ah mungkin saja karena aku juga seorang pengamen jalanan yang
keluyuran malam-malam jadi orang-orang enggan berteman terlalu dekat denganku,
tetapi mungkin juga aku yang minder dekat dengan mereka. Ranti pun juga
bercerita tentang dia yang ternyata bekerja disebuah club malam sebagai
pelayan. Dia berusia 1tahun dibawahku. Dia harus bekerja untuk menghidupi
seluruh keluarganya, ayahnya meninggal ketika dia kelas 12SMA. Ibu nya hanya
buruh cuci keliling yang sudah mulai sakit-sakitan, sedangkan adik-adiknya
masih sangat kecil-kecil. Mau tidak mau Ranti harus berjuang untuk kebutuhan
keluarganya, menjadi tulang punggung keluarga karena dia adalah anak sulung.
Ranti wanita dengan berparas cantik dengan kulit putih, bibir yang munggil,
hidung yang mancung, mata yang sipit dan rambut yang indah. Siapa yang tak suka
dengan wanita ini. Namun siapa juga yang mengira hidupnya seberat ini. Jujur
saja aku merasa iba, dia harus bekerja ditempat yang seperti itu yang dimana
seperti yang Ranti ceritakan tidak sedikit pria hidung belang yang berkunjung
kesana dan minta ditemani ini itu. Tempat yang dipandang kurang bagus untuk
seorang wanita yang baik-baik.
Sepulang Ranti bekerja, sekitar pukul 03.00 WIB. Aku dan
Ranti duduk disebuah bangku taman kota.
“man, gimana hari ini banyak dapet duitnya?”
“aah ya begitu , ga jauh beda sama hari-hari biasanya”
“kamu kenapa ga nyoba nyanyi ditempat aku kerja aja, suara
kamu bagus. Dan bukannya gajinya lebih banyak dari pada mengamen”
“gak ah ti, aku lebih suka ngamen aja”
"tapi bukankah penghasilannya tidak seberapa tapi kamu harus berlari sana sini untuk mendapatkan bis yang juga hanya sesekali datang."
"ya itulah ti bedanya,aku lebih menikmati ini semua. ada kepuasan sendiri yang aku rasakan"
sebelum menjadi seorang pengamen aku pernah ikut teman kampusku membentuk sebuah group band tapi ternyata tidak berjalan sesuai kenyataan menyatukan beberapa kepala menjadi satu itu tidak mudah. aku harus bisa mengatur waktu untuk kuliah dengan bermain band. jujur saja aku tidak mau kuliahku keteteran.
"hidup itu tidak selamanya kita harus megejar kenikmati duniawi kan ti?"
sahutku pada Ratni yangt sejak tadi diam mendengar ucapanku.
"ti, kamu kenapa ga kerja sambil kuliah saja? bukannya waktunya nya ada. seperti aku ini siang ya kuliah malam ya bekerja. walaupun sebetulnya aku lelah"
Ranti tertawa melirik kearahku
"uang dari mana man? untuk biaya hidup aja aku harus melaukan pekerjaan samapi selarut ini"
Sebetulnya aku mengerti dengan apa yang Ranti katakan. ya begitulah hidup terkadang tidak semuanya bisa sesuai kenyataan. Apa yang kita harapkjan justru sangat berbanding terbalik dengan kenyataanya. Namun dengan bersyukur semuanya akan lebih mudah untuk dijalani.
Kami pun terdiam dalam keheningan malam itu, sesekali aku menatap Ranti yang menutup mata sambil menghirup udara dingin malam ini. Ranti yang beberapa waktu ini selalu ada dalam hari-hariku. Ranti gadis malam yang selalu tersenyum simpul. Ya Ranti Wanita yang terkadang membuat jantungku berdegup kencang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar